Sejak awal kemunculan, covid menuai kontroversi. Ada yang bilang itu merupakan senjata biologis yang bocor di Kota Wuhan Cina. Ada yang menduga itu merupakan virus yang disebar oleh agen intelegen Amerika, CIA. Juga ada anggapan bahwa itu merupakan azab dari Allah SWT.
Anasir bahwa itu merupakan senjata biologis yang bocor, dengan munculnya tuduhan sebagian masyarakat dunia kepada Cina. CIA juga kena tunjuk, karena disinyalir ada agen yang menyusup dan membawa virus pada pertemuan pemimpin tingkat dunia di Cina beberapa waktu lalu.
Yang menarik adalah anasir bahwa virus ini merupakan azab dari Allah SWT atas orang Cina. Tersebab kebiasaan mereka yang dianggap jorok dalam pola makan. Video dengan adegan kelelawar, tikus, ular, yang dimakan mentah banyak beredar.
Waktu itu, banyak dari kita yang ringan tangan berbagi video dengan adegan orang-orang tiba-tiba jatuh, menggelepar, terkapar, dan meninggal. Sembari menyertai dengan caption yang tidak kalah sadisnya dengan persebaran virus tersebut. Bahkan "komunisme" yang identik Cina diseret dan kena getah juga.
Mengapa anasir ini menjadi menarik? Karena itu tadi, dianggap sebagai azab. Lucunya, ketika hampir seluruh dunia kena virus ini karena azab, termasuk kota-kota yang dianggap suci dan mustahil kena murka Allah SWT karena warganya beriman, akhirnya kena "azab" juga.
Bahkan simbol-simbol kemuliaan agama pun terpapar. Tokoh agama banyak yang wafat karena corona. Shaf solat di Masjidil Haram dibuat berjarak. Tembok Ratapan di Yerusalem ditutup. Basilika diportal. Borobudur disterilkan. Semua rumah ibadah yang "jauh dari potensi azab", terdampak juga.
Salah satu yang membuat simpang-siur atas keberadaan virus ini, bukan semata karena perdebatan antara kelompok yang menggunakan pendekatan agama bermazhab jabaristik, dengan kelompok yang rasional, empirik, dari kalangan akademisi dan kalangan epidemiologi.
Tapi juga karena wujud makhluk ini yang tergolong renik, tidak kasat mata. Untuk mengetahui wujudnya, kita mesti menggunakan alat bantu. Bisa jadi, karena tidak kasat mata, membuat sebagian dari kita tidak memercayai keberadaannya.
Kalangan yang tidak memercayai keberadaan virus ini, sebagian diantaranya tidak berhenti sampai disitu. Kelompok ini, menaruh curiga kepada pihak tertentu; bahwa ada kepentingan dibalik gencarnya pemberitaan tentang virus ini.
Sayangnya, cara-cara yang dilakukan untuk mengcounter keberadaan virus ini, tidak dilakukan secara jantan, rasional, empirik, dan argumentatif. Kabar bohong dan hoax juga dilakukan. Misalnya dengan cara mengutip statement tokoh publik.
Baca juga:
R. Kholis Majdi: HTI Tidak Berpolitik!
|
Pekan ini beredar broadcast yang berisi pernyataan Sultan Hamengku Buwono X di dunia maya. Baik di Facebook maupun di group-group WhatsApp. Sejatinya, broadcast itu sudah lama beredar. Sudah lebih dari satu tahun lalu. Kini muncul kembali.
Pada broadcast yang beredar itu, disebutkan bahwa Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa gonjang-ganjing virus ini merupakan sandiwara. Karenanya dia berharap agar dihentikan dan disudahi. Disebutkan juga bahwa ini adalah perang asimetris yang dilancarkan oleh Cina.
Ironisnya, broadcast ini disebar oleh tokoh agama salah satu petinggi ormas keagamaan, yang idealnya memberikan keteladanan dengan cara antara lain senantiasa hati-hati dan selektif dalam berbagi informasi. Membiasakan tabayun atau konfirmasi untuk menggaransi kesahihan informasi.
Lebih ironis lagi, ketika disajikan fakta bahwa berita itu hoax (menurut media mainstream seperti kompas.com, newsdetik.com, liputan6.com), anggota group malah mempersoalkan metodologi, bukan fokus pada substansi. Dalam nada satire, berkilah bahwa "pokoknya yang memojokkan pemerintah upayakan saja hoax". Kan konyol!
Karena hoax itu berpotensi menuai fitnah, maka ia berbahaya. Lebih berbahaya lagi bila hoax disebar oleh tokoh agama. Dan akan sangat lebih berbahaya lagi, ketika diingatkan akan bahaya hoax yang disebar oleh tokoh agama, tetapi tetap dibela oleh jamaahnya.
Tidakkah terpikir bahwa berbagi dan membagikan hoax akan menjadi "dosa jariyah" yang akan terus berakumulasi selama hoax itu beredar? Gegara hoax, anggota lain menimpali saling menyahut, saling menguatkan. Sumpah serapah pun membuncah.
Sebelumnya, pada group yang sama, dan dilakukan oleh petinggi ormas keagamaan yang sama, yang notabene adalah penceramah, disebar video dengan adegan Netanyahu dengan latar rudal dan jarum suntik. Netanyahu menunjuk tiga benda. Dua benda mirip peluru dan rudal, satunya lagi alat suntikan.
Tentu informasi itu tak masuk akal. Sebab, Perdana Menteri Israel saat ini bukan Netanyahu. Melainkan Naftali Bennett yang menjabat sejak Juni 2021. Yang membuat mustahil itu bukan perkara jabatan perdana menteri atau bukan. Tapi caption yang menyertainya. Seolah Netanyahu berkata, "Pertama kita bunuh muslim dengan peluru, lalu dengan rudal, lalu dengan vaksin". Ngeri banget kan andai benar.
Tapi berdasarkan hasil penelusuran beberapa media mainstream, baik yang berbahasa Ibrani, bahasa Arab, dan juga media berbahasa Melayu, tidak ditemukan bukti bahwa Netanyahu mengeluarkan lisan demikian.
Dikutip dari laman berita Independent, isi dari video tersebut merupakan Netanyahu yang memperlihatkan model rudal anti-balistik Israel dan jarum suntik yang ia gunakan ketika vaksinasi. Yang mana, Netanyahu hendak menunjukkan model rudal anti-balistik dan jarum suntik tersebut kepada tamu-tamu yang datang dari luar negeri.
Dua contoh hoax yang dibagikan oleh tokoh agama diatas, semoga tidak sampai menjadi preseden bahwa perilaku itu mencerminkan tabiat organisasi. Walaupun faktanya, kerap didukung dan dibenarkan oleh kader, anggota, dan jamaahnya.
Lha, bagaimana kami sebagai kader generasi penerus akan merasa bangga menjadi bagian dari ormas keagamaan ini, bila para petingginya sendiri mendegradasi diri dengan kerap berbagi hoax? Ayolah bersikap lebih arif, bijak, mengayomi, sehingga layak bagi kami sebagai teladan.
"Jangan karena engkau tidak suka pada seseorang, lalu membuat engkau tidak bisa bersikap adil pada orang itu". Jangan karena tidak suka pada rezim, lalu hantam kromo menggunakan hoax dan fitnah sebagai bentuk perlawanan.
Kan paham bahwa "alfitnatu itu asyaddu minal qotli". Masa prinsip mendasar kayak begini saja mesti dibedah kembali? Bukankah kita yang adalah kalangan terdidik, mengajarkan tentang akhlak mahmudah ini pada anak kita dalam keluarga dan murid kita di madrasah?
Tulisan ini dibuat dalam rangka "watawa sau bil haq". Dan perkara saling mengingatkan dalam kebaikan, tidak mengenal relasi kawan-lawan, tua-muda, guru-murid, laki-perempuan. Lapang dada menerima, itu lebih baik. Mari muhasabah berjamaah! Wallahu alam.***
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah alumni Mathla'ul Anwar Binuangeun